Peraturan Pajak

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 61/PJ.43/2006

TENTANG

PENEGASAN MENGENAI SAAT TERUTANGNYA PPh PASAL 26 ATAS PENGGUNAAN HAK PATEN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara nomor: xxx tanggal 13 Januari 2005 perihal seperti pada pokok surat
dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. PT ABC memproduksi peralatan elektronik khususnya home entertainment seperti VCR, televisi, dan
lain-lain. Dalam proses produksinya, perusahaan menggunakan teknologi dari pihak ketiga yang telah
dipatenkan seperti teknologi dari Dolby, DVA, Thomson, dan lain sebagainya, Atas pemakaian
teknologi yang telah dipatenkan tersebut, perusahaan diwajibkan untuk melakukan pembayaran atas
hak paten yang telah digunakan sesuai dengan perjanjian yang dilakukan dengan masing-masing
pihak pemegang paten tersebut.

Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-undang Pajak Penghasilan dinyatakan bahwa atas
Penghasilan yang dibayarkan atau yang terutang oleh Subjek Pajak dalam negeri kepada Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% dan jumlah bruto oleh
pihak yang wajib membayarkan royalty, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta.

Menurut Pasal 8 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan dinyatakan bahwa pemotongan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak
Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya
penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu. Selanjutnya dalam
penjelasan atas Pasal 8 tersebut disebutkan bahwa pada umumnya, saat terutangnya penghasilan
lazimnya adalah :
– Pada saat jatuh tempo (seperti bunga dan sewa);
– Pada saat tersedia untuk dibayarkan (seperti gaji dan dividen);
– Pada saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti royalty, imbalan jasa
teknik/jasa manajemen/jasa lainnya);
– Pada saat pengakuan biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang
berkewajiban memotong atau memungut Pajak Penghasilan.

Selanjutnya disebutkan kembali bahwa pada prinsipnya, saat yang menentukan kapan kewajiban
pemotongan dan pemungutan PPh harus dilaksanakan adalah mana yang lebih dahulu terjadi, saat
pembayaran atau saat terutangnya penghasilan. Untuk kemudahan, pelaksanaan pemotongan pajak
dapat dilakukan pada saat terjadi pembayaran walaupun sesuai dengan ketentuan saat terutangnya
pemotongan pajak tersebut terjadi pada akhir bulan pembayaran.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa PPh Pasal 26 dipotong pada saat
mana yang lebih dulu terjadi antara :
1. akhir bulan saat terutangnya penghasilan, atau
2. akhir bulan saat dilakukannya pembayaran.

Secara komersial, saat terutangnya PPh dapat berlainan untuk setiap jenis penghasilan namun untuk
penghasilan berupa paten/royalty biasanya terutang pada saat yang ditentukan dalam kontrak/
perjanjian atau faktur (tagihan komersial).

Dalam perjanjian royalty/paten, penagihan lazimnya tidak dilakukan setiap bulan. Perjanjian umumnya
hanya menyebutkan prosentase royalty/paten atas jumlah tertentu atau cara perhitungan lainnya yang
disetujui kedua belah pihak dengan menyebutkan waktu tertentu kapan paten terutang atau pihak
pemegang paten akan menerbitkan tagihannya. Demikian pula halnya dengan perjanjian paten yang
perusahaan miliki, pada umumnya pihak pemegang paten telah menentukan saat terutangnya paten
dalam waktu tiga atau enam bulan sekali dimana perusahaan harus mengirimkan perhitungan atau
pernyataan mengenai jumlah paten yang terutang. Sesuai dengan ketentuan di atas, Saudara
berpendapat bahwa saat yang disebutkan dalam kontrak/perjanjian inilah yang merupakan saat
terutangnya paten.

Pencatatan (accrual) setiap bulan merupakan pelaksanaan pembukuan yang sesuai dengan prinsip-
prinsip akuntansi yang berlaku umum. Untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan dengan lebih
akurat, Saudara melakukan pencatatan setiap bulan atas perkiraan biaya paten yang akan dibayar
kepada pemegang hak paten. Namun demikian Saudara yakin bahwa pencatatan semacam ini
seharusnya tidak merubah substansi dan saat terutangnya penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
PP 138 di atas.

Menurut pendapat Saudara, saat pengakuan biaya yang sesungguhnya terjadi pada saat penghasilan
tersebut terutang sesuai saat yang disebutkan dalam kontrak/perjanjian royalty atau faktur.
Pencatatan yang Saudara lakukan setiap bulan tidak seharusnya dianggap sebagai saat terutangnya
penghasilan yang dimaksud, karena hal tersebut semata-mata dilakukan untuk kepentingan
pencatatan dalam akuntansi dan secara substansi bukan merupakan saat terutangnya penghasilan
bagi pemegang paten.

Dengan demikian, PPh Pasal 26 yang terutang atas paten tersebut sesungguhnya terutang pada saat
terutangnya penghasilan sesuai kontrak/perjanjian (setiap tiga atau enam bulan sekali) bukan pada
saat pencatatan setiap bulannya. Karena pada saat itulah saat terutangnya penghasilan yang
sesungguhnya sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Sehubungan dengan hal-hal
tersebut diatas, Saudara memohon penegasan saat terutangnya penghasilan berupa paten.

2. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 diatur bahwa atas
penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau
yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto
oleh pihak yang wajib membayarkan :
a. dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian hutang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

3. Berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, antara
lain diatur sebagai berikut :
a. Ayat (1), Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir;
b. Ayat (2a), Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), atau ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak,
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung
dan jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dan bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.

4. Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tanggal 21 Desember 2000
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan
dan memori penjelasannya, antara lain diatur bahwa :
a. Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1) dan ayal (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya
pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung
peristiwa yang terjadi lebih dahulu;
b. Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah pada saat jatuh tempo (seperti bunga
dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti : gaji dan dividen), saat yang ditentukan
dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti : royalti, imbalan jasa teknik/jasa manajemen/
jasa lainnya), atau saat tertentu lainnya;
c. Saat terutangnya penghasilan tersebut juga ditentukan berdasarkan saat pengakuan biaya
sesuai dengan metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang berkewajiban memotong atau
memungut Pajak Penghasilan.

5. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000
tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Tempat Pembayaran
Pajak, Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pemberian
Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak, diatur antara lain sebagai berikut :
a. Pasal 1 ayat (2), Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 26
Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000, harus disetor paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak;
b. Pasal 6 ayat (1), Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran
pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan,
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (9) diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

6. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-16/PJ.22/1987 tanggal 21 April 1987
tentang Pengertian “Terhutang” yang Dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984, ditegaskan bahwa pengertian “dibayarkan atau terhutang” haruslah dikaitkan
dengan metode pembukuan pihak pemotong pajak, apakah mempergunakan metode “cash basis” atau
“accrual basis”.

7. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :
a. Pada prinsipnya, saat timbulnya kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan
ditentukan berdasarkan peristiwa atau keadaan mana yang terjadi lebih dahulu antara saat
pembayaran atau saat terutangnya penghasilan tersebut;
b. Dalam hal pembukuan pemotong pajak menggunakan metode accrual basis, PPh Pasal 26
terutang pada saat dilakukan pembebanan biaya paten meskipun belum dilakukan
pembayaran atas paten tersebut;
c. Dalam hal pembukuan pemotong pajak menggunakan metode cash basis, PPh Pasal 26
terutang pada saat dilakukan pembayaran atas paten tersebut yang biasanya bersamaan
dengan dilaksanakannya pembebanan paten pada pembukuan perusahaan;
d. Oleh karena perusahaan Saudara melakukan pencatatan biaya paten setiap bulannya (metode
accrual basis), maka pemotongan PPh Pasal 26 seharusnya dilakukan pada akhir bulan paten
tersebut dibebankan atau seharusnya dibebankan sebagai biaya. Selanjutnya Saudara
berkewajiban untuk menyetorkan PPh Pasal 26 atas paten tersebut selambat-lambatnya
tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak dan
menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya 20 (dua puluh hari) setelah masa pajak
berakhir;
e. Untuk menghindari sanksi administrasi, Saudara harus segera memotong, menyetor, dan
melaporkan PPh Pasal 26 atas paten sesuai ketentuan pada butir d, walaupun paten tersebut
belum Saudara bayarkan.

Demikian agar Saudara maklum.

a.n. Direktur Jenderal,
Direktur,

ttd.

Sumihar Petrus Tambunan
NIP. 060055232

http://www.peraturanpajak.com
info@peraturanpajak.com
WA : 0812 932 70074

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan