Peraturan Pajak

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 156/PJ.43/2006

TENTANG

PERMINTAAN PENEGASAN PPh PASAL 21

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 20 Juli 2006 perihal seperti pada pokok surat, dengan
ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa :
Sehubungan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 15/PJ./2006, perubahan dari Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-545/PJ./2000, terdapat hal-hal yang perlu mendapatkan penegasan
adalah sebagai berikut :
a. Dalam Pasal 7 huruf b, Peraturan Direktur Jenderal Pajak di atas menyebutkan bahwa
“penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2)” merupakan salah
satu yang tidak termasuk dalam penghasilan dipotong PPh Pasal 21. Apakah kenikmatan
berupa pajak yang ditangung oleh pemberi kerja termasuk salah satu yang dimaksud dalam
kenikmatan apapun dalam Pasal tersebut.
b. Apabila kami menggunakan perhitungan PPh Pasal 21 dengan metode “Pajak ditanggung/
dibayar oleh perusahaan” didasarkan karena kondisi perusahaan masih rugi fiskal atau
dengan kata lain tidak diberikan dalam bentuk tunjangan Pajak. Kami berpendapat bahwa
pembayaran PPh Pasal 21 dimaksud kenikmatan yang tidak termasuk dalam pengertian
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
c. Sehubungan dengan hal tersebut, Saudara mohon bantuan untuk dapat diberikan penjelasan
dan penegasan atas hal tersebut.

2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur :
a. Pasal 4 ayat (1) huruf a, Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini;
b. Pasal 4 ayat (3) huruf d, yang Tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk
natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah.
Dalam Memori penjelasannya menjelaskan bahwa, penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang, bukan merupakan Objek
Pajak. Apabila yang memberikan imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan
Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus deemed profit, maka
imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerima atau memperolehnya.

3. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-545/PJ./2000 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 15/PJ./2006, antara lain mengatur :
a. Pasal 5 ayat (2), Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama
apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain Pemerintah, atau Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
b. Pasal 7 huruf b, tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
adalah, penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2);

4. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa :
a. Sepanjang PPh Pasal 21 ditanggung/dibayar oleh pemberi kerja tersebut diberikan oleh Wajib
Pajak atau Pemerintah, maka PPh Pasal 21 yang ditanggung/dibayar pemberi kerja tersebut
termasuk dalam pengertian kenikmatan dalam bentuk apapun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 15/PJ./2006, sehingga kenikmatan
dalam bentuk PPh tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai biaya bagi pemberi kerja, dan
bukan merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan;
b. Namun demkian, dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung/dibayar oleh pemberi kerja yang bukan
Wajib Pajak selain Pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat Final dan
Wajib Pajak yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deem profit),
maka atas PPh Pasal 21 yang ditanggung pemberi kerja tersebut merupakan pemberian
kenikmatan yang termasuk dalam penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sehingga dalam
penghitungannya ditambahkan ke dalam penghasilan pegawai yang bersangkutan.

Demikian agar menjadi maklum.

A.n. Direktur Jenderal,
Direktur,

ttd.

Sumihar Petrus Tambunan
NIP 060055232

Tembusan:
Yth. Direktur Jenderal Pajak.

http://www.peraturanpajak.com
info@peraturanpajak.com
WA : 0812 932 70074

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan