SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 44/PJ/2021
 
TENTANG
 
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 9/PMK.03/2021
TENTANG INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK TERDAMPAK PANDEMI

CORONA VIRUS DISEASE 2019 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 82/PMK.03/2021

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

A.Umum
 
Sehubungan dengan telah diundangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019, yang mengatur mengenai perpanjangan jangka waktu pemberian insentif pajak dengan memperhatikan kapasitas fiskal untuk mendukung program penguatan kesehatan masyarakat dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional dalam rangka penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019, perlu menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak mengenai Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2021.
  
B.Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2021 (PMK-82/2021). 2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk:
a. menciptakan keseragaman dalam pemahaman dan pelaksanaan PMK-82/2021; b. menjelaskan mengenai tata cara:
1) penyampaian pemberitahuan/permohonan pemanfaatan insentif pajak oleh Pemberi Kerja/Wajib Pajak; 2) penyampaian surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja/Wajib Pajak berhak/tidak berhak memanfaatkan insentif pajak; 3) pelaporan realisasi pemanfaatan insentif pajak; dan 4) pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai; 5) ketentuan terkait kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang mendapatkan insentif pajak; dan 6) pengawasan atas pemanfaatan insentif pajak.
  
C.Ruang Lingkup
 
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:
1. pengertian; 2. tata cara pemberian insentif dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung Pemerintah (PPh Pasal 21 DTP); 3. tata cara pemberian insentif dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 ditanggung Pemerintah (PPh final PP 23 DTP); 4. tata cara pemberian insentif dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi ditanggung Pemerintah (PPh final jasa konstruksi DTP); 5. tata cara pembebasan dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif pembebasan PPh Pasal 22 Impor; 6. tata cara pemanfaatan insentif dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25; 7. tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN); 8. ketentuan terkait kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN; 9. tata cara pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final PP 23 DTP, PPh final jasa konstruksi DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN.
  
D.Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang KUP); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Undang-Undang PPh); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Undang-Undang PPN); 4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (UU 2 Tahun 2020); 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 (PP 51 Tahun 2008); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23 Tahun 2018); 8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi; 9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang; 10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak; 11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2018; 12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019 (PMK-39/2018); 13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu; 14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor; 15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu; 16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2021; 17. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2015; 18. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2014; 19. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi; 20. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2019 tentang Tata Cara Pembatalan dan Pencabutan Surat Keterangan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018; 21. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; 22. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2020 tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak Berjalan Sehubungan dengan Penyesuaian Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan; 23. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2021 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah Serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif Sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah; 24. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam Tahun Pajak Berjalan dalam Hal-Hal Tertentu.
  
E.Materi

1. Pengertian
a. Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh. b. Pemberi Kerja adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan, atau unit, termasuk Instansi Pemerintah, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan/atau pembayaran lain dengan nama atau dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh Pegawai. c. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada Pemberi Kerja, berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Pemberi Kerja. d. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut KITE adalah Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. e. Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan fasilitas KITE sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. f. Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. g. Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat. h. Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat. i. Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda. j. Nomor Pokok Wajib Pajak, yang selanjutnya disingkat NPWP, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. k. Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disingkat KPP, adalah instansi vertikal di bawah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. l. Wajib Pajak Berstatus Pusat adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir 000. m. Wajib Pajak Berstatus Cabang adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir selain 000. n. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP. o. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. p. Surat Pemberitahuan Tahunan, yang selanjutnya disebut SPT Tahunan, adalah surat pemberitahuan yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. q. Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. r. Pemotong atau Pemungut Pajak adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh. s. Surat Keterangan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, yang selanjutnya disebut Surat Keterangan, adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. t. Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi, yang selanjutnya disebut P3-TGAI, adalah program perbaikan, rehabilitasi, atau peningkatan jaringan irigasi dengan berbasis peran serta masyarakat petani yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air, Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air, atau Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air. u. Perkumpulan Petani Pemakai Air, yang selanjutnya disebut P3A, adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan/petak tersier atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga lokal pengelola irigasi. v. Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air, yang selanjutnya disebut GP3A, adalah kelembagaan sejumlah P3A yang bersepakat bekerja sama memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi. w. Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air, yang selanjutnya disebut IP3A, adalah kelembagaan sejumlah GP3A yang bersepakat bekerja sama untuk memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok primer, gabungan beberapa blok primer, atau satu daerah irigasi. x. Pejabat Pembuat Komitmen, yang selanjutnya disebut PPK, adalah Pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam rangka pelaksanaan P3-TGAI di Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. y. Wajib Pajak Penerima P3-TGAI adalah P3A, GP3A, dan/atau IP3A yang melaksanakan P3-TGAI sebagaimana telah ditetapkan oleh PPK dan disahkan oleh Kepala Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai atau Balai Wilayah Sungai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. z. Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disebut PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN. aa. Pengusaha Kena Pajak, yang selanjutnya disebut PKP, adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN. bb. Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan, yang selanjutnya disingkat SP2DK, adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. cc. Contact Center adalah saluran interaksi antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik yang dikelola unit tertentu di Direktorat Jenderal Pajak dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. 2. Tata cara pemberian insentif dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah (PPh Pasal 21 DTP)
a. PPh Pasal 21 DTP Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 diberikan kepada Pegawai dengan kriteria:
1) menerima atau memperoleh penghasilan dari Pemberi Kerja dengan kriteria:
a) memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak Yang Mendapatkan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah PMK-9/2021; b) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau c) telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB; 2) memiliki NPWP; dan 3) pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). b. PPh Pasal 21 DTP Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021 diberikan kepada Pegawai dengan kriteria:
1) menerima atau memperoleh penghasilan dari Pemberi Kerja yang memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak Yang Mendapatkan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah PMK-82/2021; 2) memiliki NPWP; dan 3) pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). c. Tata cara penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai berikut:
1) Pemberi Kerja mengajukan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP secara daring (online) melalui laman http://www.pajak.go.id; 2) Pemberi Kerja yang telah memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 berdasarkan PMK-9/2021 harus mengajukan kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021 secara daring (online) melalui laman http://www.pajak.go.id; 3) dalam hal Pemberi Kerja merupakan Wajib Pajak Pusat dengan kode KLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a angka 1 PMK-9/2021 sebagaimana telah diubah dengan PMK-82/2021, dan memiliki cabang, pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah baik untuk pusat maupun cabang dilakukan oleh Wajib Pajak Pusat; 4) dalam hal Pemberi Kerja yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 berdasarkan kriteria Perusahaan KITE atau mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, pemberitahuan pemanfaatan insentif diajukan oleh Wajib Pajak Pusat dan/atau Wajib Pajak Cabang yang memenuhi kriteria; 5) jika hasil pengecekan sistem aplikasi pada laman http://www.pajak.go.id, Pemberi Kerja dinyatakan:
a) berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, sistem aplikasi akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP; atau b) tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, sistem aplikasi akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP. d. Pemberi Kerja dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP sejak Masa Pajak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 5) huruf a) disampaikan. e. Pemberi Kerja dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP sejak Masa Pajak Juli 2021 dengan menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP sampai dengan tanggal 15 Agustus 2021. f. Tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak PPh Pasal 21 DTP dan cetakan kode billing untuk Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021 sebagai berikut:
1) Pemberi Kerja, baik Wajib Pajak Pusat maupun Wajib Pajak Cabang, yang telah menyampaikan pemberitahuan atas PPh Pasal 21 DTP sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 2) wajib membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 82/PMK.03/2021″; 2) Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus dibuat sebelum laporan realisasi dan/atau laporan realisasi pembetulan disampaikan dan dengan nilai yang sesuai dalam laporan realisasi terkait; 3) dalam hal Pemberi Kerja telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 21 sebagai sarana penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), maka perekaman kode NTPN diganti perekaman kode billing dengan diawali angka 9 secara elektronik pada aplikasi e-SPT dan jumlah Rupiah sebesar nilai PPh Pasal 21 DTP (misalnya: kode billing yang terbentuk adalah 123456789012345, maka kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan 9123456789012345); 4) Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada angka 1) disimpan dan diadministrasikan oleh Pemberi Kerja. g. Tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP sebagai berikut:
1) Pemberi Kerja mengunduh format dan jenis file laporan realisasi PPh Pasal 21 DTP berdasarkan PMK-82/2021 di laman http://www.pajak.go.id; 2) Pemberi Kerja wajib mengisi laporan realisasi dengan lengkap dan benar, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) NPWP Pegawai yang sesuai dengan nama Pegawai yang bersangkutan; b) dalam hal Pegawai menggunakan NPWP suami, dicantumkan nama suami di depan nama Pegawai yang bersangkutan; c) jumlah penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur, yang diterima atau diperoleh Pegawai sebagaimana dimaksud dalam huruf b, pada Masa Pajak tersebut yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200.000.000,00 (dalam Masa Pajak yang bersangkutan memperoleh penghasilan bruto tidak lebih dari Rp16.666.666,00); dan d) dalam hal Pegawai menerima penghasilan lebih dari satu kali dalam Masa Pajak yang bersangkutan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dan tidak melebihi jumlah sebagaimana dimaksud pada huruf c); 3) Pemberi Kerja mengunggah file laporan realisasi melalui saluran tertentu pada laman http://www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir; 4) Pemberi Kerja dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi insentif PPh Pasal 21 DTP paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 3); 5) Pemberi Kerja yang telah memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 berdasarkan PMK-9/2021 dapat menyampaikan pembetulan laporan realisasi paling lambat tanggal 31 Oktober 2021. h. Pemberi Kerja yang tidak menyampaikan laporan realisasi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf g angka 3) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP untuk Masa Pajak yang bersangkutan. i. Dalam hal Pegawai memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf b dan Pemberi Kerja telah menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, tetapi Pemberi Kerja telah melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diberikan kepada Pegawai, maka:
1) Pemberi Kerja dapat melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21; 2) kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 sebagai akibat pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada angka 1) dapat:
a) dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya, dalam hal pada Masa Pajak berikutnya terdapat PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan insentif DTP, paling sedikit sebesar kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 tersebut; a tau b) diajukan pemindahbukuan atas keseluruhan kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 dalam hal pada Masa Pajak berikutnya tidak terdapat PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan insentif DTP, atau atas selisih kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 dalam hal PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan insentif DTP lebih kecil dibandingkan dengan kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP; 3) dan atas PPh Pasal 21 yang terlanjur dipotong oleh Pemberi Kerja, dibayarkan kepada Pegawai. j. Wajib Pajak KITE dan PDKB yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021, tetapi Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB dicabut dengan tanggal pencabutan sampai dengan tanggal 30 Juni 2021, insentif PPh Pasal 21 DTP berakhir sampai dengan Masa Pajak dilakukannya pencabutan. k. Dikecualikan dari pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP, dalam hal penghasilan yang diterima Pegawai berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan PPh Pasal 21 telah ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. l. Dalam hal pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 DTP menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan menyatakan kelebihan pembayaran, maka kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21 DTP tidak dapat dikembalikan. 3. Tata cara pemberian insentif dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 ditanggung Pemerintah (PPh final PP 23 DTP)
a. Insentif PPh final PP 23 DTP diberikan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu terhadap PPh final yang terutang atas penghasilan usaha sebagaimana diatur dalam PP 23 Tahun 2018. b. Jangka waktu pemberian insentif PPh final PP 23 DTP diberikan untuk Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021. c. Pemanfaatan insentif PPh final PP 23 DTP dilakukan dengan menyampaikan laporan realisasi secara daring (online) melalui laman http://www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 pada bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. d. Tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh final PP 23 DTP sebagai berikut:
1) Wajib Pajak mengunduh format dan jenis file laporan realisasi PPh final PP 23 DTP berdasarkan PMK-82/2021 di laman http://www.pajak.go.id; 2) Wajib Pajak mengunggah file laporan realisasi yang telah diisi dengan lengkap dan benar melalui saluran tertentu pada laman http://www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir; 3) Dalam hal Wajib Pajak yang telah memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) PMK-9/2021 sebagaimana telah diubah dengan PMK-82/2021 tidak memiliki penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) PMK-9/2021 sebagaimana telah diubah dengan PMK-82/2021 dalam suatu Masa Pajak, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e. Wajib Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP untuk Masa Pajak yang bersangkutan. f. Wajib Pajak dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi PPh final PP 23 DTP paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf c. g. Wajib Pajak yang telah menyampaikan laporan realisasi dan/atau laporan realisasi pembetulan PPh final PP 23 DTP dapat menyampaikan pembetulan laporan realisasi dan/atau laporan realisasi pembetulan Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 paling lambat tanggal 31 Oktober 2021. h. Wajib Pajak yang tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP sebagaimana dimaksud pada huruf e wajib menyetorkan PPh final PP 23 DTP terutang untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. i. Penyampaian laporan realisasi, sebagaimana dimaksud pada huruf c bagi Wajib Pajak yang belum memiliki Surat Keterangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018, dapat diperlakukan sebagai pengajuan Surat Keterangan dan terhadap Wajib Pajak tersebut dapat diterbitkan Surat Keterangan. j. Kewajiban penyampaian SPT Masa PPh dianggap telah dipenuhi jika Wajib Pajak telah menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf c. k. Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh final PP 23 DTP yaitu penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 PP 23 Tahun 2018. l. Ketentuan peralihan terkait laporan realisasi PP 23 DTP Tahun Pajak 2020:
1) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang belum menyampaikan laporan realisasi PPh final PP 23 DTP dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP Pajak 2020; 2) Wajib Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP untuk Masa Pajak yang belum dilaporkan pada Tahun Pajak 2020. m. Tata cara konfirmasi Surat Keterangan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak sebagai berikut:
1) Pemotong atau Pemungut Pajak, dalam kedudukannya sebagai pembeli atau pengguna jasa, melakukan pemotongan atau pemungutan PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 dalam hal:
a) Wajib Pajak menyerahkan fotokopi Surat Keterangan; b) transaksi penjualan atau penyerahan jasa termasuk dalam kelompok penghasilan dari usaha yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018; dan c) transaksi penjualan atau penyerahan jasa termasuk objek pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh; 2) saat terutang PPh atas transaksi dengan pihak pemotong atau pemungut berdasarkan PP 23 Tahun 2018 mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh; 3) sebelum melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada angka 1), Pemotong atau Pemungut Pajak melakukan konfirmasi atas kebenaran Surat Keterangan yang diserahkan oleh Wajib Pajak antara lain dengan cara : a) scan barcode; b) mengakses laman http://www.pajak.go.id; atau c) menghubungi Contact Center; 4) dalam hal Surat Keterangan sesuai hasil konfirmasi menyatakan bahwa:
a) terkonfirmasi, maka Pemotong atau Pemungut Pajak membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 82/PMK.03/2021” dan tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh; atau b) tidak terkonfirmasi, maka Pemotong atau Pemungut Pajak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh; 5) untuk transaksi impor atau pembelian barang, jika Surat Keterangan menyatakan terkonfirmasi, maka Surat Keterangan berfungsi juga sebagai Surat Keterangan Bebas; 6) Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 4) huruf a) wajib melaporkan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 82/PMK.03/2021” dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2); 7) dalam hal Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 6) telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai sarana penyampaian SPT, maka perekaman kode NTPN diganti perekaman kode billing dengan diawali angka 9 dan jumlah Rupiah sebesar nilai PPh final PP 23 DTP (misalnya: kode billing yang terbentuk adalah 123456789012345, maka kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan 9123456789012345); 8) Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada angka 4) huruf a) disimpan dan diadministrasikan oleh Wajib Pajak; 9) dalam hal terdapat kelebihan pembayaran PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain karena Wajib Pajak memanfaatkan insentif sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka kelebihan pembayaran PPh tersebut dapat:
a) diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang oleh Wajib Pajak; atau b) diajukan permohonan pemindahbukuan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak di KPP tempat pembayaran diadministrasikan, ke pembayaran pajak Wajib Pajak. sepanjang laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf c telah disampaikan. 4. Tata cara pemberian insentif dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi ditanggung Pemerintah (PPh final jasa konstruksi DTP)
a. PPh final jasa konstruksi DTP diberikan kepada Wajib Pajak Penerima P3-TGAI. b. Jangka waktu pemberian insentif PPh final jasa konstruksi DTP diberikan untuk Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021. c. Tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak PPh final jasa konstruksi DTP dan cetakan kode billing untuk Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021 sebagai berikut:
1) Pemotong Pajak wajib membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh FINAL JASA KONSTRUKSI DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 82/PMK.03/2021”; 2) Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus dibuat sebelum laporan realisasi dan/atau laporan realisasi pembetulan disampaikan dan dengan nilai yang sesuai dalam laporan realisasi terkait; 3) dalam hal Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1) telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai sarana penyampaian SPT, perekaman kode NTPN diganti perekaman kode billing dengan diawali angka 9 dan jumlah Rupiah sebesar nilai PPh final jasa konstruksi DTP (misalnya: kode billing yang terbentuk adalah 123456789012345, maka kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan 9123456789012345); 4) Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada angka 1) disimpan dan diadministrasikan oleh Pemotong Pajak. d. Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1) wajib melaporkan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh FINAL JASA KONSTRUKSI DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 82/PMK.03/2021” dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2). e. Tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh final jasa konstruksi DTP sebagai berikut:
1) Pemotong Pajak mengunduh format dan jenis file laporan realisasi PPh final jasa konstruksi DTP berdasarkan PMK-82/2021 di laman http://www.pajak.go.id; 2) Pemotong Pajak mengunggah file laporan realisasi yang telah diisi dengan lengkap dan benar melalui saluran tertentu pada laman http://www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir; f. Pemotong Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf e angka 2) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final jasa konstruksi DTP untuk Masa Pajak yang bersangkutan. g. Pemotong Pajak dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi PPh final jasa konstruksi DTP paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf e angka 2). h. Pemotong Pajak yang telah menyampaikan laporan realisasi dan/atau laporan realisasi pembetulan PPh final jasa konstruksi DTP dapat menyampaikan pembetulan laporan realisasi dan/atau laporan realisasi pembetulan Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 paling lambat tanggal 31 Oktober 2021. i. Pemotong Pajak yang tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final jasa konstruksi DTP sebagaimana dimaksud pada huruf f wajib menyetorkan PPh final jasa konstruksi DTP terutang untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. j. Dalam hal Pemotong Pajak telah melakukan pemotongan PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Penerima P3-TGAI sejak diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2021, PPh yang telah dipotong tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang oleh Wajib Pajak Penerima P3-TGAI ke KPP tempat Wajib Pajak Penerima P3-TGAI terdaftar, sepanjang laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan. 5. Tata cara pembebasan dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor
a. Wajib Pajak dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sejak tanggal SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan PMK-9/2021 diterbitkan sampai dengan tanggal 30 Juni 2021, dengan kriteria:
1) memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pembebasan PPh Pasal 22 Impor PMK 9/2021; 2) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau 3) telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean b. Wajib Pajak dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sejak tanggal SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan PMK-82/2021 diterbitkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2021 adalah Wajib Pajak yang memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pembebasan PPh Pasal 22 Impor PMK-82/2021; c. Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf b diberikan melalui SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor. d. Tata cara penyampaian permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai berikut:
1) Wajib Pajak menyampaikan permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor secara daring (online) pada menu Permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor melalui laman http://www.pajak.go.id; 2) Wajib Pajak yang telah dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan PMK-9/2021 harus mengajukan kembali permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan PMK-82/2021 secara daring (online) melalui laman http://www.pajak.go.id; 3) atas permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada angka 2), sistem aplikasi akan menerbitkan:
a) SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dalam hal Wajib Pajak memenuhi kriteria KLU sebagaimana dimaksud dalam huruf b; atau b) Surat Penolakan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria KLU sebagaimana dimaksud dalam huruf b; dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor atau Formulir Penolakan Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor PMK-82/2021; 4) SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor atau Surat Penolakan diterbitkan segera setelah Wajib Pajak menyampaikan Permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor melalui laman http://www.pajak.go.id; e. Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor berlaku sejak tanggal SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan PMK-82/2021 diterbitkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2021. f. Atas PPh Pasal 22 Impor yang telah dibayarkan sejak tanggal 1 Juli 2021 sampai dengan sebelum tanggal SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan PMK-82/2021 diterbitkan, PPh yang telah dibayar tersebut:
1) tidak dapat dimintakan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang; dan 2) dapat dikreditkan dengan PPh terutang pada Tahun Pajak yang bersangkutan. g. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dapat melakukan konfirmasi kebenaran SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang diperoleh Wajib Pajak melalui sarana daring (online) atau layanan yang disediakan oleh DJP. h. Tata cara pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai berikut:
1) DJP secara jabatan melakukan pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor atas:
a) Wajib Pajak KITE dan PDKB yang memanfaatkan insentif Pembebasan PPh Pasal 22 Impor sejak tanggal SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan PMK-9/2021 diterbitkan sampai dengan tanggal 30 Juni 2021, yang telah diterbitkan KMK pencabutan Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB dengan tanggal pencabutan sampai dengan tanggal 30 Juni 2021; dan b) data dan/atau informasi mengenai KMK pencabutan tersebut sebagaimana dimaksud pada huruf a) telah dikirimkan oleh DJBC kepada DJP; 2) atas pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1), Wajib Pajak tidak berhak atas pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor. i. Tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai berikut:
1) Wajib Pajak mengunduh format dan jenis file laporan realisasi pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan PMK-82/2021 di laman http://www.pajak.go.id; 2) Wajib Pajak mengunggah file laporan realisasi yang telah diisi dengan lengkap dan benar melalui saluran tertentu pada laman http://www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir; 3) dalam hal Wajib Pajak belum menyampaikan laporan realisasi sampai dengan tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, sistem informasi DJP akan memberikan notifikasi kepada Account Representative Wajib Pajak bersangkutan untuk selanjutnya diberikan imbauan untuk menyampaikan laporan realisasi dan/atau ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. 6. Tata cara pemanfaatan insentif dan penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
a. Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 diberikan kepada Wajib Pajak dengan kriteria:
1) memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 PMK-9/2021; 2) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau 3) telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB. b. Insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021 diberikan kepada Wajib Pajak dengan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 PMK-82/2021. c. Insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yaitu 50% (lima puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang untuk setiap Masa Pajak berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai penghitungan besarnya angsuran dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri. d. Wajib Pajak dapat memanfaatkan Insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dengan menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, yang berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 disampaikan sampai dengan:
1) Masa Pajak Juni 2021, bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam huruf a; 2) Masa Pajak Desember 2021, bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam huruf b. e. Tata cara penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan DJP sebagai berikut:
1) Wajib Pajak mengajukan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh pengurangan besarnya angsuran Pasal 25 secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id; 2) Wajib Pajak yang telah memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 berdasarkan PMK-9/2021 harus mengajukan kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021 secara daring (online) melalui laman http://www.pajak.go.id; 3) Jika hasil pengecekan sistem aplikasi pada laman http://www.pajak.go.id, Wajib Pajak dinyatakan:
a) berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, sistem aplikasi akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25; atau b) tidak berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, sistem aplikasi akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja tidak berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25. f. Wajib Pajak dapat memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada huruf a sejak Masa Pajak Januari 2021 dengan menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 paling lambat tanggal 15 Februari 2021. g. Wajib Pajak dapat memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada huruf b sejak Masa Pajak Juli 2021 dengan menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 paling lambat tanggal 15 Agustus 2021. h. Dalam hal Wajib Pajak telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 yang seharusnya diberikan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 pada Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dan terdapat kelebihan pembayaran PPh Pasal 25, maka atas kelebihan pembayaran tersebut dapat:
1) diperhitungkan sebagai angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak berikutnya; atau 2) diajukan pemindahbukuan. i. Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada huruf h angka 2) dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak. j. Wajib Pajak KITE dan PDKB yang memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021, tetapi Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB telah dicabut dengan tanggal pencabutan sampai dengan tanggal 30 Juni 2021, insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berakhir sampai dengan Masa Pajak dilakukannya pencabutan. k. Tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagai berikut: 1) Wajib Pajak mengisi data realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan PMK-82/2021 di laman http://www.pajak.go.id dengan lengkap dan benar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir; 2) dalam hal Wajib Pajak belum menyampaikan laporan realisasi sampai dengan tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, sistem informasi DJP akan memberikan notifikasi kepada Account Representative Wajib Pajak bersangkutan untuk selanjutnya diberikan imbauan untuk menyampaikan laporan realisasi dan/atau ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. 7. Tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
a. KPP tempat PKP diadministrasikan memproses permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah yang diterima berdasarkan:
1) SPT, dalam hal PKP mengisi kolom pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN dalam SPT Masa PPN; atau 2) surat permohonan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F PMK-39/2018, untuk permohonan pengembalian pendahuluan atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang diterbitkan sebelumnya, sepanjang terhadap PKP belum mulai dilakukan tindakan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka atas Masa Pajak yang dimohonkan pengembalian pendahuluan. b. Satu surat permohonan yang disampaikan tersendiri, digunakan untuk 1 (satu) Masa Pajak. c. Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN memenuhi persyaratan:
1) diajukan oleh PKP yang memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran PPN PMK-82/2021; 2) jumlah lebih bayar dalam SPT yang diajukan pengembalian pendahuluan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); 3) Masa Pajak yang diajukan pengembalian pendahuluan yaitu Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Desember 2021; dan 4) Permohonan pengembalian pendahuluan disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2022, maka permohonan pengembalian pendahuluan PPN tersebut ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur pengembalian pendahuluan PKP Berisiko Rendah sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini. d. Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf c maka permohonan pengembalian pendahuluan PPN tersebut ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur pengembalian pendahuluan sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-10/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah. e. PKP sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi PKP yang telah ditetapkan sebagai PKP Berisiko Rendah maupun PKP yang belum ditetapkan sebagai PKP Berisiko Rendah. f. Kepala KPP menerbitkan SKPPKP berdasarkan penelitian administrasi yang meliputi penelitian kewajiban formal dan penelitian materiil pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah. g. Penelitian kewajiban formal pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada huruf f meliputi:
1) PKP telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 sesuai dengan kewajibannya; 2) PKP memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran PPN PMK-82/2021; 3) jumlah lebih bayar dalam SPT Masa PPN termasuk pembetulan SPT Masa PPN secara akumulatif tidak melebihi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); 4) SPT Masa PPN, pembetulan SPT Masa PPN, termasuk pengajuan surat permohonan tersendiri, yang diajukan pengembalian pendahuluan merupakan Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Desember 2021 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2022; 5) PKP tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan 6) PKP tidak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum SPT Masa PPN disampaikan. h. Penelitian materiil pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi:
1) memastikan kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, meliputi kebenaran penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan dalam penghitungan pajak; 2) Pajak Masukan, meliputi Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang dikreditkan oleh PKP Berisiko Rendah telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh PKP yang menerbitkan Faktur Pajak; dan 3) Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh PKP Berisiko Rendah telah divalidasi dengan NTPN. i. Petugas peneliti tidak perlu melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) PMK-39/2018 pada Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. Kegiatan tertentu tersebut meliputi:
1) ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; 2) penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN; 3) penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang PPN-nya tidak dipungut; 4) ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau 5) ekspor Jasa Kena Pajak. j Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada huruf h angka 2) dilakukan berdasarkan aplikasi atau data dan/atau informasi yang tersedia di sistem informasi DJP. k. Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pajak Masukan yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon dan tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat Faktur Pajak, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak; dan/atau 2) Pajak Masukan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat Faktur Pajak dan tidak dikreditkan Wajib Pajak pemohon, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak. l. Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada huruf h hanya terbatas pada Pajak Masukan yang dilaporkan pada SPT Masa PPN lebih bayar Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian, tidak termasuk Pajak Masukan pada SPT Masa Pajak sebelumnya yang menyatakan kelebihan pembayaran yang dikompensasikan. m. Atas nilai lebih bayar yang dikompensasikan di Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan diakui sebesar nilai PPN lebih bayar yang dikompensasikan dalam SPT Masa PPN Masa Pajak sebelumnya atau SPT Masa PPN Masa Pajak yang dilakukan pembetulan dan mengakibatkan lebih bayar yang selanjutnya dikompensasikan ke Masa Pajak saat dimintakan pengembalian pendahuluan. n. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak tetap diberikan kepada PKP meskipun kelebihan pajak disebabkan karena adanya kompensasi Masa Pajak sebelumnya dan tidak ada ekspor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak pada Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan. o. Setelah SKPPKP diterbitkan, atas SPT Masa PPN lebih bayar kompensasi pada Masa Pajak sebelumnya diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. p. Berdasarkan hasil penelitian, Kepala KPP:
1) menerbitkan SKPPKP sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H PMK-39/2018, dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan:
a) memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada huruf g; dan b) berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan; atau 2) tidak menerbitkan SKPPKP dan menerbitkan surat pemberitahuan kepada PKP sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G PMK-39/2018, dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan:
a) tidak memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada huruf g; atau b) berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan. q. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian PKP tidak diterbitkan SKPPKP karena tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau persyaratan materiil, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 178 Undang-Undang KUP. r. Dalam hal saat penelitian kewajiban formal dalam rangka pengembalian pendahuluan sesuai PMK-82/2021 juga diketahui PKP memiliki penetapan sebagai PKP Berisiko Rendah yang diterbitkan berdasarkan PMK-39/2018 tetapi tidak memenuhi syarat berlakunya keputusan penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, maka KPP menindaklanjuti dengan melakukan pencabutan keputusan Penetapan sebagai PKP Berisiko Rendah yang dilakukan berdasarkan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf E angka 9 SE-10/PJ/2018. s. Dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SKPPKP tidak sama dengan jumlah lebih bayar dalam SPT Masa PPN, maka pengembalian atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP tersebut diproses dalam hal PKP Berisiko Rendah mengajukan kembali permohonan pengembalian pendahuluan melalui surat tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F PMK-39/2018. t. Surat tersendiri sebagaimana dimaksud pada huruf s disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2022. Dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan melalui surat tersendiri disampaikan setelah 31 Januari 2022, Kepala KPP tidak menerbitkan SKPPKP dan menindaklanjuti permohonan tersebut dengan menerbitkan surat pemberitahuan kepada PKP sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G PMK-39/2018. u. Dalam hal terdapat selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP dan jangka waktu 31 Januari 2022 telah berakhir, selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya dengan melakukan pembetulan SPT Masa PPN. v. Dalam hal PKP menyampaikan pembetulan SPT Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan sebelum diterbitkan SKPPKP dan SPT pembetulan tersebut telah diterima secara lengkap, maka dasar penerbitan SKPPKP adalah SPT pembetulan, dan jangka waktu pengembalian pendahuluan dihitung sejak diterimanya SPT pembetulan. w. Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan yang menyatakan lebih bayar dan mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan, serta atas SPT Masa PPN pembetulan tersebut telah dinyatakan lengkap maka kelebihan pembayaran pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan yaitu kredit pajak yang belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang dilakukan pembetulan yang telah diterbitkan SKPPKP. x. Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai SKPPKP pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111 dan PKP mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan, serta atas SPT pembetulan tersebut telah dinyatakan lengkap maka SPT Masa PPN pembetulan tersebut akan mengakibatkan PPN kurang bayar pada bagian II huruf F Formulir SPT Masa PPN 1111 setelah memperhitungkan nilai SKPPKP pada bagian II huruf E Formulir SPT Masa PPN 1111. Untuk selanjutnya:
1) SKPPKP tetap ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP; dan 2) PKP dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP. y. Dalam hal PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan tidak memperhitungkan nilai SKPPKP yang telah diterbitkan pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111, dan dalam hal jika nilai SKPPKP tersebut diperhitungkan mengakibatkan SPT Masa PPN pembetulan menjadi kurang bayar, maka ditindak lanjuti dengan:
1) menyampaikan SP2DK kepada PKP tersebut untuk melakukan pembetulan SPT Masa PPN; dan 2) menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP dalam hal PKP tidak melakukan pembetulan SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud pada angka 1). z. Dalam hal telah diterbitkan SKPPKP dan PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 178 Undang-Undang KUP, atas kelebihan pembayaran pajak berdasarkan SPT pembetulan diproses melalui ketentuan Pasal 178 Undang-Undang KUP. aa. SKPPKP atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf p, diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan. bb. Yang dimaksud dengan tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf aa adalah:
1) tanggal bukti penerimaan SPT Masa PPN atau surat permohonan, dalam hal SPT Masa PPN atau surat permohonan disampaikan secara langsung; 2) tanggal penyampaian SPT Masa PPN atau surat permohonan secara lengkap, dalam hal SPT atau surat permohonan disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau 3) tanggal penyampaian SPT Masa PPN atau surat permohonan secara lengkap, dalam hal SPT Masa PPN atau surat permohonan disampaikan melalui saluran tertentu (e-filing) yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. cc. Tanggal penyampaian SPT Masa PPN diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud pada huruf bb ditentukan berdasarkan penelitian SPT Masa PPN yang dilakukan oleh KPP sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan. dd. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf aa terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan SKPPKP atau pemberitahuan, permohonan PKP dianggap dikabulkan dan Kepala KPP menerbitkan SKPPKP paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf aa berakhir. ee. SKPPKP yang telah diterbitkan ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP sesuai dengan ketentuan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. ff. Prosedur penyelesaian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yaitu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini. 8. Ketentuan mengenai kode KLU yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
a. Pemberi Kerja atau Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 yang akan memanfaatkan insentif:
1) PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah; 2) pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor; 3) pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25; dan/atau 4) pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN, harus telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019. b. Bagi Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh pada tahun 2019, kode KLU yang digunakan yaitu kode KLU sebagaimana yang tercantum dan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 baik:
1) SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 status normal; atau 2) SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 status pembetulan, yang disampaikan oleh Wajib Pajak baik sebelum maupun setelah tanggal berlakunya PMK-82/2021, dalam hal kode KLU sama dengan data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (Master File). c. Bagi Pemberi Kerja yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019, kode KLU yang digunakan sebagai dasar pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP yaitu kode KLU yang terdapat dalam Master File Wajib Pajak Pusat. d. Bagi Instansi Pemerintah, kode KLU yang digunakan sebagai dasar pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP yaitu kode KLU yang terdapat dalam Master File. e. Bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar setelah Tahun Pajak 2019, kode KLU yang digunakan sebagai dasar pemberian insentif pembebasan PPh Pasal 22 Impor dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yaitu kode KLU yang terdapat dalam Master File Wajib Pajak. f. Dalam hal KLU pada Master File Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak sesuai dengan kode KLU dalam lampiran PMK-9/2021 atau PMK-82/2021, tetapi tidak sesuai dengan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019, karena beberapa sebab di antaranya:
1) tidak menuliskan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019; 2) belum melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019; atau 3) salah mencantumkan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019, Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan KLU tersebut melalui penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 baik berstatus normal atau pembetulan, sepanjang atas SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 belum dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KUP. g. Dalam hal SPT Tahunan Tahun Pajak 2019 sudah atau sedang dilakukan pemeriksaan, kode KLU yang digunakan yaitu kode KLU sebagaimana yang tercantum dalam Master File Wajib Pajak, dengan ketentuan bahwa Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak:
1) dapat melakukan perubahan kode KLU melalui penyampaian permohonan perubahan data sehingga sesuai dengan kode KLU yang sebenarnya; atau 2) tidak perlu melakukan perubahan kode KLU dalam hal kode KLU Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak telah sesuai dengan KLU yang sebenarnya. 9. Tata cara pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final PP 23 DTP, PPh final jasa konstruksi DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
a. Pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP adalah sebagai berikut:
1) dalam hal Pemberi Kerja telah memanfaatkan fasilitas insentif PPh Pasal 21 DTP kemudian diketahui berdasarkan data dan/atau informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Pemberi Kerja:
a) tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-9/2021 dan/atau PMK-82/2021; atau b) tidak berhak mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP karena Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB telah dicabut; maka diterbitkan SP2DK agar Pemberi Kerja menyetorkan kembali PPh Pasal 21 terutang yang seharusnya dipotong dan melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21; 2) dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21, dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP untuk menagih kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 terutang sebagaimana dimaksud pada angka 1); 3) penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2), dilakukan dengan terlebih dahulu memastikan kebenaran KLU dalam Master File melalui pelaksanaan pemeriksaan tujuan lain dalam rangka pencocokan data dan/atau alat keterangan atau pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; 4) dalam hal terdapat notifikasi dari sistem maupun data laporan realisasi yang tidak sesuai, Account Representative menindaklanjuti notifikasi dan/atau data laporan realisasi yang tidak sesuai tersebut dengan melakukan penelitian atas data tersebut dan selanjutnya:
a) memberikan imbauan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan laporan realisasi untuk Masa Pajak yang bersangkutan yang harus disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan; b) memberikan imbauan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan laporan realisasi untuk Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 yang harus disampaikan paling lambat 31 Oktober 2021; c) memberikan imbauan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan SPT Masa dalam hal laporan realisasi pembetulan sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan/atau huruf b) menimbulkan kewajiban untuk melakukan pembetulan SPT Masa; dan/atau d) menerbitkan SP2DK, dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan laporan realisasi dan/atau SPT Masa sebagaimana dimaksud pada huruf a), huruf b), dan/atau huruf c); 5) Kepala KPP berwenang melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas insentif PPh Pasal 21 DTP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. b. Pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh final PP 23 DTP adalah sebagai berikut:
1) dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP, tetapi tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) PMK-82/2021, maka Wajib Pajak tersebut tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP dan:
a) wajib menyetorkan PPh final sebesar 0,5% atas penghasilan dari usaha yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018; atau b) wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud huruf a); 2) dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP serta menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) PMK-82/2021, tetapi tidak termasuk Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018, maka atas penghasilan tersebut Wajib Pajak:
a) tidak dapat memanfaatkan PPh final PP 23 DTP; dan b) wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh; 3) dalam hal terdapat notifikasi dari sistem maupun data laporan realisasi yang tidak sesuai, Account Representative menindaklanjuti notifikasi dan/atau data laporan realisasi yang tidak sesuai tersebut dengan melakukan penelitian atas data tersebut dan selanjutnya:
a) memberikan imbauan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan laporan realisasi untuk Masa Pajak yang bersangkutan yang harus disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan; b) memberikan imbauan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan laporan realisasi untuk Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 yang harus disampaikan paling lambat 31 Oktober 2021; dan/atau c) menerbitkan SP2DK, dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan/atau huruf b). 4) Kepala KPP berwenang melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas insentif PPh final PP 23 DTP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. c. Pengawasan atas pemanfaatan insentif pembebasan PPh Pasal 22 Impor adalah sebagai berikut:
1) dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif pembebasan PPh Pasal 22 Impor kemudian diketahui berdasarkan data dan/atau informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif, Account Representative menindaklanjuti dengan:
a) memberikan imbauan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran PPh Pasal 22 Impor untuk Masa Pajak yang bersangkutan; b) menerbitkan SP2DK untuk melakukan pembayaran PPh Pasal 22 Impor untuk Masa Pajak yang bersangkutan, dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a); c) menerbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP, dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b); d) penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c), dilakukan dengan terlebih dahulu memastikan kebenaran KLU dalam Master File melalui pelaksanaan pemeriksaan tujuan lain dalam rangka pencocokan data dan/atau alat keterangan atau pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; e) penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c) tidak dilakukan jika SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2021 telah disampaikan; f) hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf d) juga dapat digunakan sebagai dasar perubahan data KLU Wajib Pajak dalam Master File Wajib Pajak serta DJP secara jabatan melakukan pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor; 2) Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1) karena:
a) tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-9/2021 dan/atau Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB telah dicabut, untuk Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021; dan/atau b) tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-82/2021, untuk Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021. d. Pengawasan atas pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebagai berikut:
1) dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 kemudian diketahui berdasarkan data dan/atau informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif, Account Representative menindaklanjuti dengan:
a) memberikan imbauan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak yang bersangkutan; b) menerbitkan SP2DK untuk melakukan pembayaran PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak yang bersangkutan, dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a); c) menerbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP, dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b); d) penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c), dilakukan dengan terlebih dahulu memastikan kebenaran KLU dalam Master File melalui pelaksanaan pemeriksaan tujuan lain dalam rangka pencocokan data dan/atau alat keterangan atau pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; e) penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c) tidak dilakukan jika SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2021 telah disampaikan; f) hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf d) juga dapat digunakan sebagai dasar perubahan data KLU Wajib Pajak dalam Master File Wajib Pajak; 2) Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada angka 1) karena:
a) tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-9/2021 dan/atau Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB telah dicabut, untuk Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021; dan/atau b) tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-82/2021, untuk Masa Pajak Juli 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021; 3) dalam hal terdapat:
a) kelebihan pembayaran PPh yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf h; dan b) kekurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak bersangkutan atau Masa Pajak berikutnya, KPP memastikan bahwa angsuran PPh Pasal 25 yang dibayarkan pada Masa Pajak bersangkutan ditambah kelebihan pembayaran PPh yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf h adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang pada Masa Pajak bersangkutan; e. Pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh final jasa konstruksi DTP adalah sebagai berikut:
1) dalam hal terdapat notifikasi dari sistem maupun data laporan realisasi yang tidak sesuai, Account Representative menindaklanjuti notifikasi dan/atau data laporan realisasi yang tidak sesuai tersebut dengan melakukan penelitian atas data tersebut dan selanjutnya:
a) memberikan imbauan kepada Pemotong Pajak untuk melakukan pembetulan laporan realisasi untuk Masa Pajak yang bersangkutan yang harus disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan; b) memberikan imbauan kepada Pemotong Pajak untuk melakukan pembetulan laporan realisasi untuk Masa Pajak Januari 2021 sampai dengan Masa Pajak Juni 2021 yang harus disampaikan paling lambat 31 Oktober 2021; c) memberikan imbauan kepada Pemotong Pajak untuk melakukan pembetulan SPT Masa dalam hal laporan realisasi pembetulan sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan/atau huruf b) menimbulkan kewajiban untuk melakukan pembetulan SPT Masa; dan/atau d) menerbitkan SP2DK dalam hal Pemotong Pajak tidak melakukan pembetulan laporan realisasi dan/atau SPT Masa sebagaimana dimaksud pada huruf a), huruf b), dan/atau huruf c); 2) Kepala KPP berwenang melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Pemotong Pajak dan/atau Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas PPh final jasa konstruksi DTP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. f. Pengawasan atas pemanfaatan insentif pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN adalah sebagai berikut:
1) dalam hal PKP telah diterbitkan SKPPKP, tetapi berdasarkan data dan/atau informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Wajib Pajak tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-82/2021 atau tidak termasuk perusahaan yang mendapatkan pengembalian pendahuluan, terhadap Masa Pajak diterbitkannya SKPPKP diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan; 2) Usulan pemeriksaan terhadap Masa Pajak diterbitkannya SKPPKP sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan oleh Seksi Pengawasan.
  
F.Penutup

1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 2. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2021 yaitu tanggal 1 Juli 2021. 3. Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, diminta agar seluruh unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan sehubungan dengan pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Agustus 2021
DIREKTUR JENDERAL

ttd.

SURYO UTOMO

http://www.peraturanpajak.com

Jika ada pertanyaan tentang pajak dan ingin berkonsultasi  , silahkan klik:

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan