KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

____________________________________________________________________________________________

15 April 2016

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR S – 69/PJ/2016

TENTANG

PENGAWASAN RESTITUSI PPN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Dalam rangka menindaklanjuti surat Direktur Jenderal Pajak nomor S-41/PJ/2016 tanggal 7 Maret 2016 hal Strategi Pengamanan Pencapaian Target Penerimaan Pajak Tahun 2016, khususnya butir 2 huruf b angka 2) yaitu peningkatan pengawasan PKP secara kontinyu dengan optimalisasi data yang tersedia, termasuk pengawasan di Kawasan Berikat dan Kawasan Bebas serta mitigasi risiko terkait dengan restitusi PPN dan untuk  melaksanakan Instruksi Direktur Jenderal Pajak nomor INS-01/PJ/2016 tanggal 15 Februari 2016 tentang Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2016, dengan ini kami sampaikan arahan sebagai berikut:

1. Agar Kepala Kanwil DJP dan Kepala KPP secara ketat mengawasi pemberian restitusi PPN di setiap masanya, agar sesuai dengan target yang telah disepakati.

2. Pemberian restitusi agar memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yaitu:

a. kelebihan pembayaran harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak Wajib Pajak yang bersangkutan;
b. jika setelah diperhitungkan dengan utang pajak masih terdapat sisa kelebihan pembayaran pajak, maka atas permohonan Wajib Pajak dapat diperhitungkan dengan:

1) pajak yang akan terutang atas Wajib Pajak yang bersangkutan;
2) utang pajak dan/atau pajak yang akan terutang atas nama Wajib Pajak lain.

Untuk itu, diminta agar Kepala Kanwil DJP/Kepala KPP dapat bersinergi dengan Kepala Kanwil DJP/Kepala KPP lain untuk dapat mengidentifikasi Wajib Pajak lain yang terkait atau Wajib Pajak lain yang terafiliasi dengan Wajib Pajak yang menerima restitusi untuk dapat memperhitungkan restitusi PPN tersebut, atau melakukan pemeriksaan pada waktu yang bersamaan.

3. Restitusi PPN pada prinsipnya terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:

a. PKP yang melakukan ekspor;
b. PKP yang melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN;
c. PKP yang melakukan penyerahan ke Kawasan Berikat;
d. PKP yang melakukan penyerahan ke dalam Kawasan Bebas (FTZ) Batam.

Dalam hal PKP yang meminta restitusi adalah PKP diluar yang tersebut di atas, misalnya PKP Perdagangan, maka hal tersebut perlu untuk diwaspadai.

4. Untuk PKP yang meminta restitusi karena kegiatan ekspor, maka perlu diyakini bahwa barang-barang yang diekspor memang benar-benar ke luar daerah pabean.

5. Untuk PKP yang meminta restitusi karena melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN non Bendahara Pemerintah, yaitu KKKS Migas, BUMN, dan Badan Tertentu yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010, Nomor 85/PMK.03/2012, dan Nomor 37/PMK.03/2015 maka perlu dipastikan bahwa PPN yang telah dipungut tersebut telah disetor tepat waktu.

6. Untuk PKP yang melakukan penyerahan kepada Pengusaha di Kawasan Berikat, maka perlu dipastikan bahwa barang tersebut benar-benar masuk ke Kawasan Berikat.

Untuk dapat mengecek hal tersebut, diminta kepada Kepala Kanwil DJP/Kepala KPP dapat bersinergi dengan Kanwil DJBC/KPPBC setempat untuk dapat memperoleh dokumen pengeluaran dan pemasukan barang serta mendapatkan akses inventory monitoring system yang ada.

7. Untuk PKP yang melakukan penyerahan barang ke Kawasan Pelabuhan Bebas (FTZ) Batam, maka perlu dipastikan bahwa barang-barang tersebut benar-benar masuk ke dalam Batam.

Untuk itu, agar Kepala KPP dapat berkoordimasi dengan KPP Madya Batam untuk memperoleh data endorsement atas pemasukan barang tersebut ke Pulau Batam.

8. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan yang ketat atas permohonan restitusi yang dilakukan oleh PKP yang melaporkan penyerahan digunggung dalam SPT PPN 1111 form 1111 AB namun demikian transaksinya tidak dilakukan secara eceran/ritel. Contohnya adalah perusahaan/developer real estate, dan dealer motor/mobil.

9. Perlu juga diwaspadai permohonan restitusi PPN yang sebagian besar Pajak Masukannya berupa SSP Pemanfaatan Jasa Luar Negeri. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-29/PJ/2015 tentang Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN, maka dalam SSP Pemanfaatan Jasa Luar Negeri harus ditulis Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN)-nya. Hal ini bertujuan agar satu NTPP tidak dikreditkan pada 2 (dua) masa yang berbeda.

10. Agar Kepala KPP melaksanakan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015 yang mengatur bahwa permohonan restitusi PPN yang diproses melalui mekanisme pengembalian pendahuluan (Pasal 17C UU KUP) harus dilampiri dengan seluruh dokumen Pajak Keluaran dan Pajak Masukan dalam bentuk hardcopy, kecuali e-Faktur.

11. Dalam proses keberatan di Kanwil DJP, agar benar-benar didukung dengan argumentasi dan legal basis yang kuat agar risiko kalah di tingkat banding dapat diminimalisasi.

12. Dalam hal terdapat putusan banding yang mengakibatkan restitusi, agar benar-benar diteliti bahwa putusan tersebut tidak terdapat kesalahan formal.

13. Selanjutnya dalam rangka pengawasan pemberian restitusi PPN, kami meminta Kepala Kanwil DJP/ Kepala KPP dapat memanfaatkan seoptimal mungkin data yang tersedia di aplikasi portal DJP maupun aplikasi-aplikasi lainnya.

14. Terakhir, mari kita pupuk kekompakan dan kebersamaan, serta saling bahu-membahu untuk menggali potensi pajak dengan memperbanyak pertukaran data dan informasi antar Kanwil DJP/KPP.

Demikian disampaikan, untuk dapat dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd

http://www.peraturanpajak.com

info@peraturanpajak.com

Tinggalkan Balasan