Peraturan Pajak

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 1055/PJ.343/2006

TENTANG

PENJELASAN ATAS PAJAK PENGHASILAN JASA KONSULTAN ASING

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara nomor XXX tanggal XXX perihal tersebut pada pokok surat, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam surat tersebut disampaikan bahwa :
a. Untuk proses penyelesaian kasus Cemex, Pemerintah RI telah menunjuk Konsultan White and
Case yang berkedudukan di New York sebagai konsultan. Untuk itu, Pemerintah telah 2 (dua)
kali melakukan pembayaran atas jasa White & Case yakni pada tahun 2004 dan 2005 tanpa
memungut/memotong pajak penghasilan;
b. Berdasarkan pemeriksaan BPK RI terhadap kasus tersebut, tim audit BPK mempertanyakan
masalah kewajiban pemotongan pajak penghasilan atas jasa konsultan dimaksud;
c. Mengingat White & Case berkedudukan di New York dan antara Pemerintah RI dengan
Amerika Serikat telah memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Saudara
memohon penjelasan Direktorat Jenderal Pajak mengenai perlakuan perpajakan atas
pembayaran kepada konsultan tersebut.

2. Menanggapi permohonan Saudara tersebut, dengan ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut :
a. Berdasarkan catatan administrasi kami, White & Case telah terdaftar sebagai Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap pada Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing Dua sejak tahun
1995 dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) XXX.
b. Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh) diatur sebagai
berikut :
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan :
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas :
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
c. Dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh diatur sebagai berikut :
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang
dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri,
penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usha tetap di Indonesia,
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang
wajib membayarkan :
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
d. Dalam Pasal 2 huruf b Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002
tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh, diatur sebagai berikut :
“Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan
imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasian Pasal 23 sebesr 15% (lima belas persen) dari
perkiraan penghasilan neto adalah :
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang dilakukan oleh
Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang telah dipotong PPh
Pasal 21.”
Dalam Lampiran II, angka 1 huruf b Surat Keputusan Dirjen Pajak tersebut diatur bahwa
jumlah perkiraan penghasilan neto untuk jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi adalah
sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
e. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2000 , antara lain mengatur :
1) Pasal 1 angka 5 :
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasrkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
2) Pasal 1 angka 6 :
Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang ini.
3) Pasal 1 angka 7 :
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam angka 5.
4) Pasal 1 angka 8 :
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5) Pasal 1 angka 14 : Pengusaha adalah orang pribadi atau badan sebagaimana
dimaksud dalam angka 13 yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor, barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
6) Pasal 1 angka 27 :
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau
instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor,
dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusha Kena Pajak atas penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawn
Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
7) Pasal 4 huruf c :
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Penjelasan Pasal tersebut : Jasa yang
berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah
Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak “C”
di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha “B” yang berkedudukan
di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak
Pertambahan Nilai.
f. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Bendaharawan
Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Untuk Memungut, Menyetor dan
Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah beserta Tata
Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya, antara lain mengatur :
1) Pasal 1 angka 1 :
Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan
pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah
Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau Kota.
2) Pasal 1 angka 2 :
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah adalah Pengusha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada
Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
3) Pasal 2 ayat (1) :
Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara ditetapkan
sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
4) Pasal 2 ayat (2) :
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
melakukan pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah atas nama Pengusaha Kena
Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
g. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 568/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghitungan,
Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud Dan Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean, antara lain
mengatur :
1) Pasal 1 ayat (1) :
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dihitung dengan cara
sebagai berikut :
a. 10% x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak
yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak apabila dalam jumlah tersebut tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; atau
b. 10/100 x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak
yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak apabila dalam jumlah tersebut sudah teramsuk Pajak Pertambahan Nilai.
2) Pasal 1 ayat (2) :
Dalam hal tidak diketemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk
pembayaran sebagaimana diamksud dalam ayat (1) atau meskipun diketemukan
adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan
bahwa dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
maka Pajak Pertambahan yang terutang dihitung sebesar 10% (sepuluh persen)
dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak
yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Paben.
3) Pasal 2 :
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dipungut
oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, pada saat dimulainya pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
tersebut.
4) Pasal 3 ayat (1) :
Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah saat yang
diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :
a. saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut
secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
b. saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
c. saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa
Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
d. saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang
memanfaatkannya;
5) Pasal 3 ayat (2) :
Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan
atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya
kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

3. Berdasarkan fakta dan ketentuan pada butir 2 serta memperhatikan isi surat Saudara pada butir 1
di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
a. Oleh karena White & Case telah memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, maka penghasilan
yang dibayarkan Pemerintah RI kepada White & Case terhutang Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 23 dengan tarif pemotongan sebesar 7,5% (15% X 50%) dari jumlah bruto penghasilan
yang dibayarkan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
b. Jasa konsultasi yang diberikan oleh Konsultan White & Case dan dimanfaatkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
c. Atas pemanfaatan jasa konsultasi tersebut, Sekretariat Kementerian Negara BUMN wajib
memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dengan Dasar
Pengenaan Pajak disesuaikan dengan transaksi sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
pada butir 2 huruf g angka 1 dan angka 2 di atas.

4. Penegasan dalam surat ini hanya berlaku terbatas terhadap kasus yang kondisi dan fakta-faktanya
sebagaimana telah diuraikan di atas.

Demikian disampaikan, atas perhatian Saudara diucapkan terima kasih.

Direktur Jenderal
Direktur,

ttd.

Gunadi
NIP 060044247

Tembusan :
1. Direktur Jenderal Pajak;
2. Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak.

http://www.peraturanpajak.com
info@peraturanpajak.com
WA : 0812 932 70074

Tinggalkan Balasan