Peraturan Pajak

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 164/PJ.331/2006

TENTANG

PERMOHONAN PENJELASAN/PENEGASAN TENTANG BPHTB ATAS PEMBELIAN KAVELING TANAH

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 20 Desember 2005 perihal dimaksud pada pokok di atas, dengan
ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan :
a. Pada bulan Nopember 1998 Saudara membeli kaveling tanah kosong dari PT. BSD;
b. Dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tanah No. XXXXX dan No. XXXXX tanggal 9 Nopember 1998
antara lain dinyatakan bahwa Akta Jual Beli akan dibuat apabila pihak pembeli telah selesai
membangun rumah dan salah satu syarat untuk membuat Akta Jual Beli dan Balik Nama
Sertifikat tanah adalah Bukti Pembayaran BPHTB;
c. Sehubungan dengan hal tersebut Saudara meminta penjelasan/penegasan mengenai
perhitungan BPHTB apakah didasarkan atas NJOP bumi saja atau termasuk NJOP Bangunan.

2. Dasar Hukum BPHTB
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur :
a. Pasal 1 angka 1, bahwa BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan bangunan;
b. Pasal 1 angka 2, bahwa perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan;
c. Pasal 2 ayat (1), bahwa yang menjadi obyek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan;
d. Pasal 2 ayat (2), bahwa perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi antara lain pemindahan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah,
hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang dan pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
e. Pasal 2 ayat (3), bahwa hak atas tanah meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan;
f. Pasal 9 ayat (1) huruf a ditetapkan saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan untuk jual-beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. Pasal 6 ayat (3) antara lain mengatur, apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak tidak diketahui
atau lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai
adalah Nilai Jual Obyek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;

3. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
a. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dikenakan atas perolehan hak
sehingga pada saat Saudara selaku pembeli, memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan,
dalam hal ini Hak Guna Bangunan (HGB), akan terutang/dikenakan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak
Kena Pajak (NPOPKP) sejak saat tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta perolehan hak
atas tanah dan bangunan tersebut (akta PPAT);
b. Dasar pengenaan BPHTB dalam kasus Saudara adalah harga transaksi, atau NJOP PBB pada
tahun terjadinya perolehan apabila harga transaksi tersebut lebih rendah daripada NJOP PBB
dimaksud;
c. Dengan demikian, sepanjang pada saat ditandatanganinya akta jual beli oleh PPAT, objek
Jual beli yang tercantum dalam akta hanya berupa tanah saja, maka BPHTB yang terutang
hanya atas tanah saja, tidak termasuk bangunan.

Demikian untuk dimaklumi.

a.n. Direktur Jenderal
Direktur,

ttd.

Herry Sumardjito
NIP 060061993

http://www.peraturanpajak.com
info@peraturanpajak.com
WA : 0812 932 70074

Tinggalkan Balasan