Peraturan Pajak
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 282/PJ.323/2006
TENTANG
PERLAKUAN PPN DAN PPh ATAS KEGIATAN JASA KONSTRUKSI
MELALUI HIBAH ABC YANG DILAKUKAN XXX
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor xxx tanggal xxx perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan
hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam surat tersebut pada intinya dkemukakan hal-hal sebagai berikut :
a. DEF dikontrak oleh ABC Indonesia dibawah perjanjian Nomor xxx dalam Strategic Objective
Grant Agreement (SOAG) dengan Pemerintah Indonesia dalam hal ini Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Aceh (BRR) untuk membantu proses pemulihan tsunami dalam rekonstruksi jalan
sepanjang 240 km antara Banda Aceh dan Meulaboh.
b. Dalam perjanjian yang telah disetujui oleh penerima hibah tersebut disebutkan bahwa setiap
kontraktor, subkontraktor, pemberi bantuan dan sub pemberi bantuan ataupun organisasi
lainnya dibiayai pegawai-pegawai mereka kecuali penduduk Indonesia yang melaksanakan
tugas-tugas yang dibiayai oleh ABC dibawah persetujuan ini dibebaskan dari pengenaan
pajak-pajak termasuk dan tidak terbatas pada bea masuk, tarif pajak impor, pajak
penghasilan dan pajak pertambahan nilai sehubungan dengan pembangunan proyek tersebut
di atas.
c. Disamping yang telah disebutkan diatas juga atas pembelian barang-barang baik lokal maupun
impor oleh ABC dan mitra pelaksananya (termasuk kontraktor nasional, kontraktor non
nasional, sub kontraktor dan sub penerima hadiah) yang dibiayai dalam rangka perjanjian ini,
dibebaskan dari pengenaan pajak termasuk pajak pertambahan nilai.
d. Dalam hal ABC dan mitra-mitra pelaksanaannya dibebani pajak atas barang-barangnya
sebagaimana tercantum dalam section 6.5. (a), (b) dan section B4 dari standard provision,
maka penerima hibah dan kemitraan yang bersangkutan akan mengembalikan dengan cara
dan waktu singkat kepada ABC atau semua pajak yang telah dipungut oleh Pemerintah
Indonesia akan dikenakan “witholding penalty”.
e. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas DEF mengajukan permohonan pembebasan pajak
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 1957, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1957, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
611/KMK.04/1994 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 574/KMK.04/2000.
2. Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Amandemen
Keempat Tahun 2002, antara lain diatur sebagai berikut :
a. Pasal 11 ayat (2), Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
b. Pasal 23A, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.
3. Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, antara lain
diatur sebagai berikut :
a. Pasal 10, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-jundang apabila
berkenaan dengan :
1) Huruf a, masalah politik, perdamaian, peratahanan, dan keamanan negara;
2) Huruf b, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
3) Huruf c, kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4) Huruf d, hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5) huruf e, pembentukan kaidah hukum baru;
6) Huruf f, pinjaman dan/atau hibah luar negeri;
b. Pasal 11 ayat (1), pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden;
c. Pasal 11 ayat (2), Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan
presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk dievaluasi.
4. Ketentuan Pajak Penghasilan.
1. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur
sebagai berikut :
a. Pasal 1, Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atak penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak;
b. Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 1, huruf b, dan huruf c, yang menjadi Subjek Pajak
adalah orang pribadi, badan, dan bentuk usaha tetap;
c. Pasal 2 ayat (5) huruf c, yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa kantor perwakilan;
d. Pasal 3, tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
1) Huruf c, organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, dengan syarat :
i. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
ii. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
2) Huruf d, pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
e. Pasal 4 ayat (1) huruf c, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk laba usaha;
f. Pasal 4 ayat (3) huruf a, yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah :
1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan
para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
g. Pasal 5 ayat (1), yang menjadi Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
1) Huruf a, penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut
dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
2) Huruf b, penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang,
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau
yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
3) penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk
usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan
dimaksud;
h. Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf d, pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai dan badan yang
membayar honodarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
i. Pasal 21 ayat (2), tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan
pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a adalah badan perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
j. Pasal 22 ayat (1), Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah
untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang,
dan badan-badan tertentu untuk memugut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;
k. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2), atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan
pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21;
l. Pasal 26 ayat (1) huruf d, atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah,
Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh peren) dari
jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan.
m. Pasal 32A, Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak.
Dalam memori penjelasannya antara lain dijelaskan bahwa dalam rangka peningkatan
hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat
hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari
masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan
pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak;
n. Pasal 33A ayat (4), Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan di
bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan
lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-
undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil,
kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut
sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.
2. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999,
antara lain diatur sebagai berikut :
a. Pasal 1 ayat (2), pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah :
1) Huruf a, penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan
hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan
pihak lain selain pemerintah;
2) Huruf b, penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau
cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan,
termasuk pembangunan untuk kepentingan umu yang tidak memerlukan
persyaratan khusus;
b. Pasal 4 ayat (1), besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
c. Pasal 4 ayat (2) huruf a, nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai
Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994,
kecuali dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan
keputusan pejabat yang bersangkutan;
d. Pasal 4 ayat (3), Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan tahun yang bersangkutan, atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Menurut Surat Pemberitahuan
pajak Terutang tahun pajak sebelumnya;
e. Pasal 5, dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah :
1) Huruf a, orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (2) huruf a dan huruf b yang jumlah brutonya kurang dari
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah
yang dipecah-pecah;
2) Huruf c, orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau
bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
f. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2005 tentang
Peran Serta Lembaga/Perorangan Asing dalam Rangka Hibah untuk Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kepualuan Nias Provinsi Sumatera Utara, antara lain diatur sebagai berikut :
– Ayat (1) huruf c, dalam pelaksanaan programnya, Lembaga/Perorangan Asing
dapat memperoleh kemudahan fasilitas kepabeanan, cukai, dan perpajakan
– Ayat (2), pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 574/KMK.04/2000 tentang
Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi yang Tidak
Termasuk sebagai Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 601/KMK.03/2005, DEF tidak tercantum
dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan tersebut sebagai organisasi
internasional yang bukan Subjek Pajak Penghasilan.
h. Sesuai dengan ketetnuan Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 3) Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001, tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22, Sifat, dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
236/KMK.03/2003, diatur bahwa dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 adalah impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau
Pajak Pertambahan Nilai barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal,
sosial, atau kebudayaan.
i. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 609/PMK.03/2004
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di
Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, diatur bahwa sumbangan yang
diberikan oleh Wajib Pajak dalam rangka bantuan kemanusiaan bencana alam di
Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara yang terjadi pada bulan Desember
2004 dapat dibiayakan.
j. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2005 tentang
Persyaratan Sumbangan serta Tata Cara Pendaftaran dan Pelaporan oleh Penampung,
Penyalur, dan/atau Pengelola Sumbangan dalam Rangka Bantuan Kemanusiaan
Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, antara lain diatur
sebagai berikut :
– pasal 1 ayat (1), sumbangan yang diberikan oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 609/PMK.03/2004
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan Bencana
Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, diatur bahwa
sumbangan yang diberikan oleh Wajib Pajak dalam rangka bantuan
kemanusiaan bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera
Utara yang terjadi pada bulan Desember 2004 dapat dibiayakan melalui
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunnan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang bersangkutan;
– Pasal 2 ayat (1), sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
harus ditampung, disalurkan, dan/atau dikelola oleh instansi pemerintah
antara lain Kantor Wakil Presiden, Kantor Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, dan
Departemen Keuangan, serta pihak-pihak lain yang dapat
dipertanggungjawabkan keberadaannya, termasuk Palang Merah Indonesia,
media massa cetak dan elektronik, dan organisasi sosial dan/atau
keagamaan;
– Pasal 3 ayat (1), instansi pemerintah atau pihak-pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus mendaftarkan diri sebagai
penampung, penyalur, dan/atau pengelola sumbangan kepada Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak;
– Pasal 3 ayat (3), pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
paling lambat tanggal 31 Maret 2005;
k. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa
Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1)
Huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur
sebagai berikut :
– Pasal 1 ayat (1), dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan
bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catrering adalah jumlah imbalan
yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan
material/barangnya;
– Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain
selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang
dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan
material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak;
– Pasal 2 huruf b, penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto
adalah imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21;
– Pasal 4, jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.
Dalam Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut, antara lain
diatur sebagai berikut :
1) Butir 1 huruf b, jasa konsultan, kecuali jasa konstruksi, perkiraan
penghasilan netonya sebesar 50% dari jumlah bruto tidak termasuk
PPN;
2) Butir 2 huruf a, jasa teknik dan jasa manajemen, perkiraan
penghasilan netonya sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk
PPN;
3) Butir 3, jasa pelaksanaan konstruksi, termausk jasa perawatan/
pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin,
listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel, sepanjang jasa tersebut
dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi, perkiraan penghasilan netonya sebesar 13 1/3% dari
jumlah bruto tidak termasuk PPN;
4) Butir 4 huruf a dan huruf b, jasa perencanaan konstruksi dan jasa
pengawasan konstruksi, perkiraan penghasilan netonya sebesar
26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
5. Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
a. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor
8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah antara lain mengatur :
1. Pasal 4 : Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
– Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
– Impor Barang Kena Pajak;
– Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
– Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
– Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
– Pabean; atau
– Ekspor Barang Kena Pajak.
2. Pasal 9 ayat (1) sampai ayat (4) mengatur sebagai berikut :
– Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
– Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
untuk Masa Pajak yang sama.
– Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan.
– apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar pada Pajak
Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
dibayar Pengusaha Kena Pajak.
– apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak
yang dapat diminta kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
3. Pasal 16 B : Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang
tidak dipungut sebagian, atau seluruhnya baik untuk sementara waktu atau
selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak untuk :
– kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
– penyerahan Barang Kena Pajak tertentu, atau penyerahan Jasa Kena Pajak
tertentu;
– impor Barang Kena Pajak tertentu;
– pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah
Pabean.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 Tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam
Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana Pinjaman
Luar Negeri, antara lain mengatur :
1. Pasal 2 : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
terutang sejak tanggal 1 April 1995 atas impor serta penyerahan Barang dan Jasa
dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerinah yang dibiayai dengan hibah atau dana
pinjaman luar negeri, tidak dipungut.
2. Pasal 3 : Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh kontraktor, konsultan, dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang
dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan
dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah.
c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.04/2000 Tentang Perubahan Kedua Keputusan
Menteri Keungan Nomor 239/KMK.01/1996 Tentang Bea Masuk, Bea Tambahan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam
Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah atau Dana Pinjaman
Luar Negeri antara lain mengatur :
1. Pasal 1 : Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
– Proyek Pemerintah adalah proyek yang tercantum dalam Daftar Isian Proyek
(DIP) atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP, termasuk proyek yang
dibiayai dengan Perjanjian Ppenerusan Pinjaman (PPP)/Subsidiary Loan
Agreement (SLA);
– Pinjaman Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk
devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan/
atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus
dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
– Hibah Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa
dan/atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan/atau
jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang diperoleh dari pemberi hibah
luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali.
– Dokumen lain yang dipersamakan dengan DIP adalah dokumen rencana
anggaran tahunan poyek, yang ditampung dalam Daftar Isian Pembiayaan
Proyek (DIPP), Surat Pengesahan Anggaran Biaya Proyek (SPABP), Rencana
Pembiayaan Tahunnan (RPT), Surat Rincian Pembiayaan Proyek Perkebunan
(SRP3), Rencana Anggaran Biaya (RAB), Daftar Isian Ppenerusan Pinjaman
Luar Negeri (DIPPLN), Surat Keputusan Otorisasi (SKO), dan dokumen lain
yang diterapkan oleh Menteri Keuangan;
– Perjanjian Ppenerusan Pinjaman (PPP) atau Sub-sidiary Loan Agreemen
(SLA) adalah perjanjian penerusan pinjaman antara Pemerintah RI cq.
Departemen Keuangan dengan BUMN/BUMD/PEMDA sehubungan dengan
proyek yang dilaksanakan oleh BUMN/BUMD/PEMDA dan dibiayai dengan
hibah atau dana pinjaman luar negeri yang diteruspinjamkan (two step loan);
– Kontraktor Utama adalah kontraktor, konsultan dan pemasok (“Supplier”)
yang berdasarkan kontrak melaksanakan Proyek Pemerintah yang dibiayai
dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, termasuk tenaga ahli dan
tenaga pelatih yang dibiayai dengan hibah luar negeri;
– Kontrak adalah suatu perjanjian pengadaan barang dan jasa (KPBJ) atau
naskah lainnya yang dapat disamakan, yang ditandatangani oleh Pemimpin
Proyek atau pejabat yang berwenang dan Kontraktor Utama.
2. Pasal 3 ayat (1) : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM) yang terutang sejak 1 April 1995 atas impor Barang Kena Pajak
(BKP), pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean, pemanfaatan
BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, penyerahan BKP dan/atau JKP oleh
Kontraktor Utama sehubungan dengan pelaksanaan Proyek Pemerintah yang seluruh
dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, tidak dipungut.
3. Pasal 3 ayat (2) : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPn BM) yang terutang sejak 1 April 1995 atas impor Barang Kena Pajak
(BKP), pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean, pemanfaatan
BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, penyerahan BKP dan/atau JKP oleh
Kontraktor Utama sehubungan dengan pelaksanaan Proyek Pemerintah yang seluruh
dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, tidak dipungut.
4. Pasal 3 ayat (2) : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPn BM) yang terutang sejak tanggal 1 April 1995 atas impor Barang Kena
Pajak (BKP), pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean,
pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, penyerahan BKP dan/atau
JKP oleh Kontraktor Utama sehubungan dengan pelaksanaan Proyek Pemerintah yang
sebagian dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, tidak
dipungut hanya atas bagian dari proyek Pemerintah yang dananya dibiayai dengan
hibah atau pinjaman luar negeri tersebut.
5. Pasal 8 ayat (1) : Atas perolehan BKP dan/atau JKP oleh Kontraktor Utama yang
melaksanakan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman
luar negeri tetap dikenakan PPN dan PPn BM oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menyerahkan BKP dan/atau JKP tersebut.
6. Pasal 8 ayat (2) : PPN yang telah dibayar oleh Kontraktor Utama sehubungan dengan
perolehan BKP dan/atau JKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran.
d. Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 616/PMK.03/2004 Tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan
Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Impor Barang Kena Pajak Yang
Dibebaskan Pungutan Bea Masuk antara lain mengatur :
1. Atas impor Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk tetap
dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2. Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas impor
sebagian Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, tidak
dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
3. Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masauk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) adalah :
– barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan azas timbal balik;
– barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada
Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan
tidak memegang paspor Indonesia;
– barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau
kebudayaan;
e. Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 25/KMK.01/1998 tentang Pemberian Restitusi/
Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai Dan/Atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Kepada
Perwakilan Negara Asing/Badan Internasional Serta Pejabat/Tenaga Ahlinya, antara lain
mengatur bahwa atas pembelian Barang Kena Pajak atau Perolehan Jasa Kena Pajak yang
dilakukan Oleh :
1. Perwakilan Negara Asing;
2. Badan International di Indonesia yang memperoleh kekebalan diplomatik serta
Pejabat/Tenaga Ahlinya.
Dibebaskan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
6. Berdasarkan ketentuan pada angka 2 sampai dengan angka 5 diatas serta memperhatikan isi surat
pada angka 1, dengan ini diberi penegasan sebagai berikut :
1. Pajak Penghasilan
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Amandemen Keempat Tahun 2002,
Presiden dalam membuat perjanjian internasional (seperti agreement, charter) yang
terkait dengan beban keuangan negara harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dan sepanjang mengenai pajak harus diatur dengan dan mengikuti/tunduk
pada ketentuan undang-undang perpajakan;
b. Sesuai dengan ketentuan Pasal 32A dan Pasal 33A ayat (4) Undang-undang Pajak
Penghasilan, Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur status lex spesialis hanya
bagi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan Kontrak Bagi Hasil/Kontrak
Karya. Dengan demikian, agreement, charter, dan perjanjian lain bukan merupakan
lex spesialis dari Undang-undang Pajak Penghasilan dan berlaku ketentuan umum
Undang-undang Pajak Penghasilan;
c. Mengingat bahwa perjanjian internasional (agreement, charter, dan perjanjian
lainnya) yang dibentuk/ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
USA (USAID) diratifikasi/disahkan tidak dengan undang-undang, melainkan hanya
dengan keputusan/peraturan Presiden, maka kekuatan hukum perjanjian
internasional tersebut berada di bawah undang-undang dan tunduk pada undang-
undang DPR hanya mengevaluasi keputusan/peraturan Presiden tentang pengesahan
perjanjian internasional dimaksud. Dengan demikian, perjanjian internasional tersebut
tunduk pada ketentuan undang-undang perpajakan;
d. Memperhatikan penegasan dalam huruf a hingga huruf c di atas dan sejalan dengan
ketentuan Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2005, pemberian kemudahan/
fasilitas kepabeanan, cukai, dan perpajakan dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. Mengingat fungsi dan kegiatan DEF tidak semata-mata memberikan pinjaman kepada
Pemerintah Indonesia yang masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanaja
Negara/Daerah (APBN/D) atau tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 huruf c Undang-
undang Pajak Penghasilan dan DEF tidak tercantum dalam Lampiran Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 574/KMK.04/2000 tentang Organisasi-Organisasi
Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk
sebagai Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 601/KMK.03/2005 , maka DEF tidak termasuk
sebagai organisasi internasional yang bukan Subjek Pajak Penghasilan. Dengan
demikian, DEF merupakan Subjek Pajak Penghasilan yang wajib memenuhi seluruh
kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundng-undangan
perpajakan. Berdasarkan administrasi Direktorat Jenderal Pajak, DEF terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak Denpasar Timur dengan Kantor Pusat di Pasadena California,
USA, dan bergerak di bidang konsultan konstruksi (rekonstruksi dan rehabilitasi
bangunan jalan dan jembatan);
f. Sepanjang pembangunan rekonstruksi jalan sepanjang 240 km antara Banda Aceh
dan Meulaboh bukan merupakan pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau
dana pinjaman luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan (termasuk DEF), dan pemasok
(supplier) wajib dibayar dan tidak ditanggung oleh Pemerintah. Dalam hal
pembangunan rekonstruksi jalan sepanjang 240 km antara Banda Aceh dan Meulaboh
merupakan pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek
Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri,
maka Pajak Penghasilan terutang yang ditanggung oleh Pemerintah hanya atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan, dan pemasok
(supplier) “utama” dari pelaksanaan pembangunan tersebut.
g. Mengingat pemberi hibah adalah ABC dan pihak yang ditunjuk/bertanggung jawab
untuk melaksanakan pembangunan dengan dana hibah tersebut DEF, maka sepanjang
terdapat laba usaha yang diterima atau diperoleh ABC dari pelaksanaan pembangunan
tersebut, terutang Pajak Penghasilan Badan oleh DEF dan wajib dilaporkan DEF dalam
SPT Tahunan PPh WP Badan DEF;
h. Dalam hal terjadi pengalihan hak atas tanah untuk pembangunan rekonstruksi jalan
sepanjang 240 km antara Banda Aceh dan Meulaboh kepada DEF dari orang pribadi
dengan jumlah bruto nilai tanah kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka pengalihan hak atas
tanah tersebut dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
i. Atas penghasilan sehubungan dengan pembangunan rekonstruksi jalan sepanjang
240 km antara Banda Aceh dan Meulaboh yang diterima atau iperoleh sub-kontraktor (
Wajib Pajak dalam negeri atau benmtuk usaha tetap) dari DEF wajib dipotong pajak
Penghasilan Pasal 23 oleh DEF, selaku pihak yang wajib membayarkan penghasilan
tersebut, sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto sebagai
berikut :
1) sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN atas
imbalan sehubungan dengan jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi;
2) sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN atas
imbalan sehubungan dengan jasa teknik dan jasa manajemen;
3) sebesar 13 1/3% (tiga belas satu per tiga persen) dari jumlah bruto tidak
termasuk PPN atas imbalan sehubungan dengan jasa pelaksanaan konstruksi,
termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/
pemasangan mesin, listrik/telepon/air/AC/TC kabel, sepanjang jasa tersebut
dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi
dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
4) sebesar 26 2/3 (dua puluh enam dua per tiga persen) dari jumlah bruto tidak
termasuk PPN atas imbalan sehubungan dengan jasa perencanaan konstruksi
dan/atau jasa pengawasan konstruksi;
j. Atas imbalan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh oleh :
1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, termasuk pegawai, bukan pegwai,
dan/atau tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, wajib dipotong,
disetor, dan dilaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh DEF;
2) Wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, wajib
dipotong, disetor, dan dilaporkan Pajak Penghasilan Pasal 26 dari jumlah
bruto oleh DEF.
2. Pajak Pertambahan Nilai
a. ABC sebagai pemberi bantuan merupakan Badan International yang berbentuk kerja
sama teknik antara pemerintah Amerika Serikat dan pemerintah Republik Indonesia,
maka atas impor untuk keperluan ABC beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia
tidak dipumgut Pajak Pertambahan Nilai sepanjang dibebaskan dari Bea Masuk.
Selanjutnya atas pemberlian Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dilakukan
di Indonesia dibebaskan dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sepanjang ABC dan Pejabat/Tenaga Ahlinya
memperoleh kekebalan diplomatik dari Pemerintah Indonesia.
b. Sepanjang bantuan dari ABC dimasukan dalam proyek pemerintah yang terutang
dalam DIP atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP, maka DEF sebagai
kontraktor utama mendapat fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas impor BKP, pemanfaatan JKP dari luar Daerah
Pabean, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean. Namun atas
perolehan BKP dan/atau JKP di dalam daerah pabean oleh DEF sebagai Kontraktor
Utama tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai tersebut merupakan Pajak
Masukan.
c. Namun demikian apabila DEF tidak mempunyai penghasilan lain selain dari proyek
pemerintah tersebut DEF melakukan perolehan BKP dan JKP di dalam daerah pabean,
maka akan terjadi lebih bayar Pajak Pertambahan Nilai, mengingat ketika DEF
melakukan penyerahan pekerjaan kepada pemerintah Indonesia sehubungan dengan
pelaksanaan Proyek Pemerintah dananya dibiayai dengan hibah tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai mengakibatkan Pajak Keluarannya nihil, dilain pihak terdapat pajak
yang telah dipungut pihak lain berupa pajak masukan.
Demikian untuk dimaklumi.
Direktur,
ttd.
Herry Sumardjito
NIP 060061993
Tembusan :
1. Direktur Jenderal Pajak;
2. Direktur Pajak Pertambahan Nilai;
3. Direktur Pajak Penghasilan;
4. Ka Kanwil DJP Bali.
http://www.peraturanpajak.com
info@peraturanpajak.com
WA : 0812 932 70074